Kamis, 19 April 2012

TEORI KEPEMIMPINAN ( SITUASIONAL)

NAMA : LAILA ZAHIRAH RAHMAH
NPM : 19210813
KELAS : 2EA17


TEORI KEPEMIMPINAN ( SITUASIONAL )


1. TEORI CONTIGENSI (CONTIGENSY MODEL)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut yaitu :
a. Hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations)
b. struktur tugas (the task structure)
c. kekuatan posisi (position power)

2. TEORI VROOM DAN YETTON
Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kepada para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan yang melaksanakan tugas-tugas pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yang tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Dalam mengambil keputusan, bagaimana pemimpin memperlakukan bawahannya.

3. TEORI PATH-GOAL
Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi. Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Teori Path-Goal, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok:
a. supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat)
b. directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada)
c. participative leadership(konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan)
d. achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).

Teori Path-Goal, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.

CONTOH KASUS

Kasus kepemimpinan yang akan saya bahas kali ini adalah studi kasus tentang kepemimpinan Sri Mulyani Indrawati.

SMI lahir di Bandar Lampung, 26 Agustus 1962. Sebelum menjabat sebagai Menteri Keuangan, dia menjabat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dari Kabinet Indonesia Bersatu. Sri Mulyani dikenal sebagai seorang pengamat ekonomi di Indonesia. Ia menjabat Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) sejak Juni 1998. Pada 5 Desember 2005, Sri Mulyani ditunjuk menjadi Menteri Keuangan menggantikan Jusuf Anwar. Sejak tahun 2008, ia menjabat Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, setelah Menko Perekonomian Dr. Boediono dilantik sebagai Gubernur Bank Indonesia. Pada tahun 2010, Sri Mulyani menjadi tokoh yang hangat diperbincangkan berkaitan dengan kasus Bank Century. Di tengah penyelidikan kasus tersebut tiba-tiba Bank Dunia menunjuknya sebagai Direktur Pelaksana di Bank Dunia. Sri Mulyani menjadi satu-satunya perempuan pertama yang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia yang membawahi 70 lebih negara.
SMI berhasil mencatat beberapa prestasi penting di bidang pembangunan ekonomi dan good governance. Salah satunya ialah keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi di Departemen Keuangan melalui terbentuknya transparansi dan akuntabilitas di internal departemen, upaya itu sekaligus dapat menjadi landasan untuk membuat kebijakan fiskal yang lebih baik di masa depan. SMI juga berhasil meningkatkan penerimaan negara dari pajak selama kepemimpinannya. Keberhasilan Direktorat Jenderal Pajak menambah jumlah pemegang nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan kebijakan sunset policy diyakini juga tidak terlepas dari perannya. Mulai diberikannya insentif fiskal bagi beberapa sektor dan komoditas yang berpotensi ekspor ataupun menyerap tenaga kerja, adalah hasil penting lain yang dihasilkan dalam rangka menjadikan pajak sebagai salah satu motor pertumbuhan ekonomi nasional. SMI juga berkomitmen dalam upaya pembangunan keuangan daerah melalui desentralisasi fiskal dan juga bisa bersikap tegas ketika ada daerah yang terlambat membelanjakan anggaran. Pada 2007, Depkeu mulai menerapkan sanksi pada daerah-daerah yang kurang disiplin dalam mengelola APBD, seperti keterlambatan penetapan APBD ataupun kegagalan dalam mengelola DAK. Kepemimpinan Sri Mulyani tak hanya diakui di tingkat kementerian keuangan yang dipimpinnya dan di tingkat nasional. Sosoknya juga cemerlang di kancah internasional. Pengaruhnya sangat besar dalam sejumlah forum ekonomi baik dengan negara-negara maju maupun sesama negara berkembang, misalnya, dalam forum G-20. Ada beberapa forum dalam lingkup G-20 yang merupakan hasil inisiatif Indonesia dan didorong oleh prakarsa Sri Mulyani, seperti forum Bali Dialogue of Climate Change. Para pegawai yang bekerja bersama SMI menyatakan bahwa dia adalah orang yang tegas dan disiplin, rasional tapi juga tulus. SMI dengan tegas, berani mereformasi seluruh struktur keoorganisasian yang menjadi inti unit kerja di kementerian keuangan dan membuat banyak terobosan dalam kebijakan serta berani mengambil risiko yang tinggi, misalnya keputusan menyelamatkan Bank Century. Sri Mulyani dinilai mampu menggawangi perekonomian Indonesia yang merupakan salah satu yang terbesar di dunia hingga mampu melampaui krisis. “Di dalam pengelolaan ekonomi, Indonesia diakui mengalami banyak kemajuan, baik itu ekonomi makro maupun dari sektor riil. Baik dari indikator-indikator yang mudah dilihat maupun yang relative susah dilihat, seperti masalah confident dan persepsi,” kata Sri Mulyani. “Dan diakui, penyumbang terbesar dari kemajuan itu adalah dari Kementerian Keuangan,” tambahnya lagi.
Kalangan ekonom menilai pengunduran diri SMI sebagai Menteri Keuangan menyusul posisi barunya sebagai pejabat tinggi di Bank Dunia merupakan solusi terbaik di tengah tekanan poltik mengenai kasus Bank Century, kerja keras SMI didukung oleh para pegawainya. Dalam kebijakan fiskal di masa kepemimpinannya, di Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan reformasi jilid II dengan memperbaiki system data base, dengan melakukan intesifikasi dan ekstensifikasi dengan menggunakan based marking profiling, dan sisi governence tata kelola untuk mengurangi penyelewengan maupun tindakan-tindakan yang tidak baik dari fiskus maupun wajib pajak. Di bidang perbendaharaan, sudah banyak reformasi yang dilakukan di Direktorat Jenderal Perbendaharaan, sehingga akan ada percepatan treasury function, pelayanan yang baik mulai dari penggunaan anggaran, pengelolaannya dan juga reportingnya.
Sri Mulyani adalah seorang pemimpin transformasional dan sekaligus pemimpin transaksional yang berkarakter, dia memegang teguh etika kerjanya dan memiliki integritas yang kuat sehingga terkenal sebagai pemimpin yang bersih dari faktor KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Dia berani mengambil resiko, melawan arus birokrasi yang ada yang sudah berjalan bertahun-tahun dan mengakar dengan kuat dengan cara melakukan pembaharuan dan reformasi proses birokrasi di departemen keuangan dan departemen terkait lainnya, seperti bea cukai, perpajakan, yang terkenal kuat dengan citra KKN. SMI juga menerapkan sistem reward dan punishment untuk memacu proses reformasi birokrasi (misal; menaikkan pendapatan pegawai departemen keuangan tetapi menekankan transparansi dan akuntabilitas pegawai; mendorong setiap daerah agar menerapkan desentralisasi fiskal tetapi juga bersikap tegas ketika ada daerah yang terlambat membelanjakan anggaran). Tidaklah mengherankan bila kemudian dia mendapatkan beberapa penghargaan internasional atas prestasinya memimpin departemen keuangan dan sebagai mentri koordinator perekonomian sebagai mentri keuangan terbaik Asia tahun 2006, dan beberapa penghargaan internasional lainnya yang sangat membanggakan bangsa Indonesia.
SMI menjalankan gaya kepemimpinan yang transaksional dan transformasional pada saat yang bersamaan selama masa kepemimpinannya. Kepemimpinan transaksionalnya terlihat pada saat dia menekankan agar pegawainya bersikap terbuka, akuntabel dan melayani publik dan dia juga memberikan peningkatan remunerasi sebagai imbalannya, sedangkan untuk kepemimpinan transformasionalnya saat dia melakukan pembaharuan dan reformasi birokrasi didepartemen-departemen yang dipimpinnya, dia memberikan contoh tentang apa yang harus dilakukan, dia mendorong agar anak buahnya menjadi lebih baik dan bertransformasi meninggalkan citra yang buruk, dia menginspirasi orang banyak untuk mempertahankan inegritas dan etika yang baik sebagai pejabat publik.
SMI juga telah membuktikan bahwa dia mempunyai kualitas-kualitas dan ciri-ciri sebagai pemimpin yang efektif; seperti berintegritas, beretika, mempunyai visi dan misi yang jelas, berani membuat tindakan/keputusan, berani menempuh resiko, memberikan rewards dan punishment, membawa dan melakukan perubahan, memenuhi target yang diharapkan, dan bertanggung-jawab dan akuntabel atas keputusannya, serta masih banyak lagi kualitas lainnya. Dari segi kompetensi inti atau skill, SMI memiliki intelektualitas dan pengalaman dibidang perekonomian dan dunia internasional yang sangat baik bahkan diakui oleh pihak internasional serta memiliki kemampuan konseptual yang baik.

Kesimpulan :
SMI adalah salah satu wanita dengan gaya kepemimpinan yang baik. SMI memiliki integritas dan kualitas yang mampu membawanya hingga ke Bank Dunia. Dengan kemampuan dan ilmu yang dimilikinya, SMI mampu menjadi pemimpin yang berkualitas dan juga disegani oleh para bawahannya. SMI memenuhi beberapa teori kepemimpinan yang ada, yaitu :

Trait Theory:
Pemimpin memiliki ciri-ciri kepribadian & karaktek yang berbeda dengan orang kebanyakan.
SMI memiliki karakteristik yang kuat, tegas dan juga kharismatik yang banyak membuat orang lain berdecak kagum melihat berbagai prestasinya di bidang ekonomi.
Situational Theory:
Menurut saya gaya kepemimpian ini termasuk Teori Kepemimpinan Contigensi. Karena, dipengaruhi oleh situasi dimana faktor-faktor tertentu dari situasi menentukan ciri-ciri pemimpin yang sesuai untuk situasi tersebut.
SMI mampu menempatkan dirinya sebagai pemimpin yang bijak dan cerdas yang membuatnya di segani oleh bawahannnya dan juga tokoh lain di bidang yang sama dengannya.

Sumber :

http://mygreenworld.blogstudent.mb.ipb.ac.id/2010/12/16/kepemimpinan-yang-efektif-studi-kasus-sri-mulyani-indrawati/#comment-320
http://teknikkepemimpinan.blogspot.com)
http://www.scribd.com/doc/15885060/Teori-Kepemimpinan

Jumat, 13 April 2012

GAYA KEPEMIMPINAN SOEHARTO

NAMA : LAILA ZAHIRAH RAHMAH
NPM : 19210813
KELAS: 2EA17



GAYA KEPEMIMPINAN SOEHARTO

Baru-baru ini ada salah satu badan survay yang melegitimasi kepemimpinan Soeharto sebagai presiden paling populer dalam masyarakat Indonesia, mengalahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Soekarno, Megawati, Habibie, dan Gusdur. Terlepas dari semua itu, Soeharto sampai saat ini mau tidak mau masih di akui melekat dalam masyarakat Indonesia.
Bahkan apabila kita perhatikan secara acak, masyarakat dipedesaan masih banyak yang mengatakan”Ngeunah keneh jaman Pak Harto, aman, sagalana marurah.”Masih enak jaman Pak Harto aman, segalanya serba murah. Hal ini bukti bahwa masyarakat sudah di hipnotis dengan gaya kepemimpinan Soeharto yang gemar membangun, dan menjaga stabilitas keamanan negara.
Kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, tiga belas tahun yang silam, telah membuka lembaran baru kehidupan bangsa Indonesia. Ada benang merah yang sangat kuat dari gaya kepemimpinan Soeharto, Ia mewarisi sebuah tradisi politik yang diwarnai penyeragaman. Melalui pendidikan politik terhadap berbagai elemen bangsa, Soeharto mampu mengelola konflik secara konsisten dan meletakan kekuatan lain di luar dirinya sebagai asesoris belaka, menjadi kekuatan demokrasi yang lemah polititical leverage-nya.

Tulisan ini mencoba mengurai kembali kepemimpinan Soeharto sejak akhir 1960-an sampe petengahan tahun 1998. Garapan awal kepemimpinan Soeharto adalah pembangunan ekonomi, jargon”economic law and politic later”menjadi prinsip utama penyelengaraan negara. Pemerintahan Soeharto yang di sebut Orde Baru memang mengambil alih kekuasaan dalam keadaan politik yang kacau, termasuk ketidakpastian ekonomi rakyat karena harga yang meningkat pesat dan tidak terjangkau oleh daya beli rata-rata masyarakat luas. Karena itu, sampai beberapa tahun kekuasaan beralih masalah ekonomi masih menjadi persoalan yang pelik.

Pemerintahan Soeharto pada waktu itu seperti tidak ada pilihan lain, kecuali mengubah dengan ekstrem fokus pembangunan di bidang ekonomi dengan cara yang luar biasa untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dan transformai menuju industrialisasi. Jadi, dari analisis historis, sudut pandang momentum ketika itu fokus perhatian Pak Harto ke bidang ekonomi dengan cara-cara ekstrem merupakan pilihan yang sangat tepat. Ide gagasan awal dari pola gerakan pembangunan ekonomi yakni pertumbuhan ekonomi akan menetes ke bawah dan tidak ada pemerataan tanpa pertumbuhan ekonomi, walaupun pada akhirnya yang dibagi hanya kemiskinan kepada masyarakat Indonesia. Permasalahan selanjutnya ketika pertumbuhan ekonomi benar-benar tercapai pada fase pertengahan kepemimpinan Soeharto sekitar 7-8% pada tahun 1967-1981, tetapi nampaknya tetap saja pemerataan tertinggal jauh di belakang.

Landasan pembangunan ekonomi Soeharto, pada akhirnya mengakibatkan partisipasi masyarakat dalam sistem pemerintahan dianggap lebih mengganggu proses pembangunan. Di sisi lain, Soeharto tetap memperhatikan nasib rakyat Indonesia, yang secara makro sangat dipengaruhi oleh dialektika internasioanal. Sebagaimana masyarakat di dunia pada umumnya, di Indonesia pun bentuk kehidupan demokrasi atau keotoriteran pemimpin ditentukan oleh interaksi dari ekonomi, politik, dan sosial. Dalam hal ini Soeharto telah mampu mengelaborasikan kekuatan militer dan birokrasi sebagai modal awal memandu kepemimpinan negara. Secara tidak sadar Soeharto telah mengemas dengan apik. Idealnya, demokrasi yang dikembangkan pada waktu itu memenuhi bagian terbesar standar universal. Pemenuhan pembatasan kekuasaan lewat pembagian dan pemisahan kekuasaan di antara ketiga cabang pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), pengoprasian sistem chek and balences telah melandasi proses demokrasi di dalam kepemimpinan Soeharto. Akibat ketidakmampuan Soeharto melakukan pemerataan ekonomi, terjadinya kecemburuan sosial merebak di mana-mana selama proses transformasi ekonomi berlangsung. Setelah pertumbuhan ekonomi terjadi selama tiga dekade pembanguan jangka panjang, ternyata telah membangun konglomerat elite baik di dalam istana maupun di luar istana. Maka kondisi ekonomi yang di ikuti oleh etatisme corporatisme dan kronitisme yang kuat di jajaran pemerintahan orde baru membuat semakin jauh jarak si miskin dan si kaya.

Akui tidak di akui perjalanan panjang kepemimpinan Soeharto untuk melakukan kontrol sosial, dan mengelola konflik di masyarakat terbilang mulus, karena Soeharto melaksanakan sejumlah pendekatan refresif dan koersif terhadap kekuatan lain yang memiliki potensi untuk menjadi oposisi dalm pemerintahannya. Sebagaian pengamat mengatakan golongan Islam tradisional yang bisa di indikasikan mempunyai kekuatan penyeimbang dari kekuasan Soeharto, karena memiliki basis massa yang banyak. Baberapa argumentasi di atas hanyalah contoh kecil dari sejumlah besar strategi Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. Meski sebagian kalangan yang menentang dirinya menganggap bahwa Soeharto anti-demokrasi, tetapi pada zamannya strategi politik tersebut dianggap sebagai kekuatan poltik yang cukup heroik.
Jatuhnya rezim Soeharto yang telah dianggap otoriter menjalankan pememerintahan lebih dari 32 tahun, dikarenakan jepitan gerakan intelektual dan massa rakyat membuka peluang kembali bagi kembalinya demokrasi yang sudah dilalui oleh perjalanan panjang sejarah bangsa. Perjalanan demokrasi Indonesia pasca Soeharto mendapat pelajaran berharga dari semua rangkaian peristiwa sejarah masa lalu. Kini tergantung pada pemimpin-pemimpin masa depan, apakah Indonesia akan kembali mengulang model kepemimpinan Soeharto, ataukah menggantikannya dengan yang lebih merakyat dan demokratis.

Perjalanan Demokrasi Indonesia

Apabila kita amati fenomena perjalanan demokrasi dan pergantian kepemimpinan bangsa sebenarnya adalah refleksi kesejahtraan publik yang terpinggirkan. Hal ini diperparah dengan ketertindasan yang dihadapi oleh umat Islam, baik oleh kekuatan Barat maupun oleh golongan yang mengatasnamakan Islam. Terlepas dari realitas politis sekarang, fenomena maraknya gerakan Islam radikal di Indonesia, sebenarnya juga mengandung jebakan-jebakan. Pertama, jangan-jangan disintegrasi gerakan radikalisme merupakan rekayasa politik global untuk memecah belah masyarakat Islam yang ada di Indonesia. Kedua, Negara Indonesia telah kehilangan bingkai kebersamaan atau komitmen kebangsaan yang berusaha mewujudkan kemakmuran dan kesejahtraan.

Kalau itu yang terjadi, maka kemudian agama telah menjadi instrumen partikularistik gerakan-gerakan agama dan kebangkitan kelompok yang kemudian mendapatkan angin segar dari suara-suara Internasional yang menginginkan perpecahan di dunia Islam. Hal ini yang diperlukan oleh negara, agar agama dijadikan perekat pada level society. Jika perekat itu hilang dan diganti oleh ikatan kepentingan salah satu golongan maka konsep kenegaraan yang memiliki budaya Democratic Civility akan lenyap secara perlahan. Apabila bangsa Indonesia berhasil menuntaskan agenda reformasi dan menguatkan kembali pemerintahan yang konsisten untuk mensejahtrakan rakyatnya, maka masyarakat Indonesia sedang dibawa ke suatu masa depan yang gemilang. Namun, apabila gerakan radikalisme, tidak segera dituntaskan sampai ke akarnya, kekhawatiran hal ini akan menjadi bumerang untuk disintegrasi yang mengatasnamakan kepentingan agama.

Setidaknya dalam analisis saya ada beberapa harapan masyarakat Indonesia untuk kepemimpinan sekarang ini. Pertama, peningkatan kesejahtraan ekonomi rakyat secara keseluruhan. Kedua, Pengembangan dan pemberdayaan kaum intelektualitas dan profesional di segala bidang. Ketiga melakukan hubungan internasional yang lebih progres untuk kemajuan negara. Keempat sosialisasi pendidikan ketatanegaraan yang bernafaskan Bhineka Tunggal Ika. Semua aspek tersebut apabila mampu dilaksanakan oleh pengemban amanah kepemimpinan, tentunya harapan untuk membangun keadaban demokratis mungkin bisa terwujud.

http://www.knowledge-leader.net/2011/05/soeharto-dan-kepemimpinan-bangsa/